Bahasa dan Sastra

Cerpen


Syahadat Terakhir
oleh Faizin, S.Pd.

Sang surya sudah tertunduk lesu, seolah ingin mengakhiri tahtanya kala itu. Suasana hening tampak di rumah keluarga Doni sampai akhirnya suara pintu memecahkannya. “Tak ada kehidupan yang nyaman lagi di rumah ini, semua terasa hambar!” ungkap Doni penuh dengan emosi. Irmapun menghampiri Doni dengan segala kegundahan yang bergelayut dihatinya. “Tenang, tenang dulu Mas” kata Irma, istri Doni. Tak lama kemudian, sepiring nasi yang tersanding berubah jadi belahan-belahan piring yang berserakan. Nasi itu menjadi saksi bisu ditengah kegalauan mereka. “Pyaaaaaarrrr....!!!” Lemparan sepatu itu tepat mengenai rak piring disebelah Irma. Piring-piring berserakan seperti sengaja dibuat untuk menghiasi sudut-sudut rumah. Hanya puing-puing kemarahan yang tersisa.
“Ya Tuhan.... Sebenarnya Mas Doni kenapa? apa masakanku tidak enak? ataukah ada yang salah dengan sikapku?” Ungkap Irma disela-sela membersihkan pecahan piring yang berserakan disekelilingnya. Doni hanya menjawab dengan tatapan tajam. Ini menambah satu pertanyaan lagi di hati Irma, yang saat itu sedang berduka atas kematian Moh. Sya’hadat anak satu-satunya. “Ir, apa ada yang salah dengan ku?” Doni mengalihkan pembicaraan. “Aku jadi semakin heran, pulang ke rumah dengan raut muka yang suram, lantas piring-piring jadi korban, sekarang malah membalikan pertanyaan padaku, aneh!” Lanjut Irma. Doni hanya terdiam, tak menjawab sepatah katapun dari bibir birunya. Dan seperti biasa, Doni hanya menyusuhkan sepotong tatapan tajam pada Irma sambil berjalan masuk ke kamarnya.
 “Kreeeekkkk...........” terdengar suara pintu almari terbuka. Tak disangka, tiba-tiba Doni menghampiri Irma kembali, dengan “dandanan” ala Sya’ sapaan akrab anaknya. Sarung putih bermotif kotak-kotak, baju koko bertuliskan syahadat dan kopyah putih berenda kembang. Suasana menjadi hening kembali, tanpa peperangan kata yang terucap dari mereka. Hanya saling melempar pandang, seolah terbawa mimpi kemudian bertemu dengan Sya’ di Surga. “Mas Doni.....!!!” Ujar Irma menambah ketegangan. “Mengapa mas pakai baju itu!, bukankah mas sendiri yang mengatakan, baju itu tidak akan dipakai lagi!” Sambar Irma mengingatkan Doni. “Mas kangen bu.......” Ucap Doni dengan berlinangan air mata. Irma tidak bisa menjawab apa-apa. Sambil menunduk Irmapun tak kuasa membendung air matanya saat mereka teringat ketika Sya’ memakai baju itu penuh dengan keceriaan, kemudian dengan lantang Sya’ berkata, “Bapak, Ibu, Sya’ pantas ya pake sarung, baju, dan kopyah ini, Sya’ sayang sama Bapak dan Ibu”. Doni dan Irma serentak menjawab “Ya kamu pantas pake baju itu, Sya”. Mereka terus mengalirkan air mata, seakan tak dapat dibendung lagi. Kini kenangan manis itu tinggal menyisakan duka, yang setiap saat datang menghampiri mereka.
Dalam keheningan itu, akhirnya Doni mengutarakan semua isi hatinya. “Sya’ anak satu-satunya yang ku punya, mengapa Kau ambil ya Tuhan?, tidaklah Kau kasihan padaku? harapanku musnah, hancur semuanya!” Ungkap Doni di tengah alunan isak tangis. “Mas Doni tidak boleh berbicara seperti itu, semua yang ada didunia ini hanyalah titipan Tuhan, termasuk anak kita. Kapanpun Tuhan mau mengambilnya, kita harus siap merelakannya” Jawab Irma menyakinkan. “Benar apa yang kau katakan, tapi mengapa harus Sya’?? sementara masih banyak orang lain di dunia ini??”. Lantas Irma hanya bisa mengganggukan kepala, mendengar Mas Doni yang tetap bersikeras terhadap takdir Tuhan.
Detak jam terus berputar hingga waktu Sholat Asyar hampir menemui ajalnya, tapi Doni masih saja terjerembab dalam lingkaran api syaitan. “Mas Doni...” Panggil Irma. “Mas, lebih baik mandi dulu, ambillah air wudhu dan menghadaplah pada yang Kuasa” Ujar Irma mencoba menenangkan. “Apa kau bilang? Menghadap Tuhan? Buat apa menghadap Tuhan? Tiap waktu menyebut nama-Nya, tiap malam berdoa pada-Nya. Tapi, apa yang ku dapat?? Anak satu-satunya yang ku sayang, diambil begitu saja!. Apa ini yang disebut Tuhan Maha Penyayang?” Jawab Doni menggebu-gebu atas pertanyaan Irma. Tiba-tiba wajah Irma tersungkur merah mendengar perkataan Mas Doni yang semakin “ngawur” dan tidak mencerminkan jebolan seorang santri.
“Mas Doni itu santri, yang pernah ngaji dipondok pesantren 6 tahun lamanya. Apakah ini wujud seorang santri?, tidaklah kau berpikir bagaimana pa Kyai mengajarkan ilmu tentang tauhid?” Sambar Irma mencoba membukakan mata hatinya. Tak lama kemudian Doni menghela nafas panjang sambil memejamkan matanya dan mengepalkan tangannya erat-erat. “Apa kau mau pecahkan lagi piring-piring itu?, pecahkan saja semuanya, kalo itu membuat lebih baik”. Lanjut Irma melihat gelagat Doni. “Aacccchhhhhh......... hahhh!!!” Jawab Doni dengan mengambil nafas panjang dan dibuangnya keras-keras. Doni terdiam sejenak, kini nafasnya pelan-pelan mulai teratur, mata dan tangannya nampak mulai lemas kembali, hanya bibirnya yang terlihat sulit untuk mengucapkan sesuatu. Irma terus mencoba untuk mendekatinya, memberi pengertian sedikit demi sedikit. “Mas... Istighfar.... Istighfarlah, jangan mudah terbawa emosi, nanti syaitan mudah hinggap di tubuh kita, ingatlah sama yang Kuasa. Aku sangat mengerti apa yang mas rasakan saat ini. Mas Doni sabar ya?” Ungkap Irma dengan sabar mengingatkan Doni.
Sang surya kian menelanjangi mereka, entah apa yang dirasakan Doni dan Irma kala itu. Hingga tak menghiraukan lagi kewajiban mereka terhadap Sang Kholik. Padahal dari kejauhan, sudah terdengar sayup-sayup kumandang Adzan Magrib silih berganti. Seolah memberi tanda mereka untuk segera mengucap Syahadat kembali. “Ya Tuhan.... Aku telah berbuat apa, hingga Aku lalai terhadap kewajibanku!” Ungkap Doni memecah kebuntuan. Tiba-tiba tanpa berpikir panjang Doni segera bergegas, berlari mengambil air wudhu. Tapi, disaat Doni mau menjalankan kewajibannya, Ia malah terjatuh dan kepalanya sobek mengeluarkan banyak darah. Jatuh tepat di depan pintu tempat pengaduan-Nya. Ia tak bisa berbuat apa-apa, memandang ke arah kiblat. Sesaat kemudian sambil menyesali ucapan dan perbuatannya, Doni sempat mengucap syahadat kepada-Nya. “Asyhadualla Illa Haillallah Wa’asyhaduanna Muhammadarrosullah” terpejam.
Doni menyusul Sya’hadat di Surga...

=== tamat ===